Pikiranku melayang. Sekelebat memori setahun belakang berjalan seperti roll film layar lebar. Aku tercenung. Gusar memandang koper-koper berbaris tertib seperti upacara tujuh belasan di pojok kamar.
Ketika melakukan perjalanan, aku sering terheran kenapa barang bawaan pulang lebih banyak dari barang yang dibawa saat bepergian. Bawaanku sudah seperti memindahkan seluruh isi kamar. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli satu koper berukuran kecil senilai 25 dolar di Walmart. Satu lagi ukurannya besar seharga 5 dollar di garage sale. Aktivitas garage sale adalah hal lumrah di Amerika. Orang-orang menambah pundi dengan menjual kembali barang-barang yang tidak diperlukan lagi. Tentu dengan harga murah-meriah-muntah yang biasa dilakukan di garasi masing-masing.
US Department memang begitu pengertian sekaligus cerdas. Ekstra bagasi khusus siswa pertukaran pelajar diberi gratis untuk membawa pulang barang dan buah tangan ke kampung halaman. Ibarat belanja online dengan iming-iming gratis ongkir. Padahal dulu ketika berangkat kami hanya diperbolehkan menenteng satu koper dengan berat maksimum 20 kilogram tidak lebih. Ditambah satu tas ransel 7 kilogram.
Sekarang aku harus menggeret dua koper besar, satu koper kecil, satu tas ransel, satu pouch berisi tiket dan paspor, dan foto berbingkai kaca berisi potret benda-benda mirip abjad yang dijadikan sebuah nama yaitu namaku. Buah pikir Rebekah selalu memukau. Kado ini adalah mahakaryanya sebagai kenangan untuk kami. Dia adalah fotografer handal kami.

Seminggu sebelum hari penuh derai air mata itu adalah hari ulang tahunku. Betapa bahagia bisa mengarungi setahun perjalanan hidup di negeri suku Indian itu. Kejutan berupa kue ulang tahun buatan Grandma menambah rasa syukur atas jatah hidup dunia yang makin kandas. Syukur hari itu digenapi dengan menghabiskan waktu di River Greenway. Jalan setengah berlari sambil ngobrol soal rentetan rencana aktivitasku setelah bercumbu kembali dengan kehidupan negeri yang pola pikir segelintir masyarakatnya tak kunjung maju.
Keesokan hari, raga kupaksa beranjak dari empuknya kasur dan indahnya mimpi. Pakaian dan kenang-kenangan mulai disusun rapat ke dalam koper. Ingat, tips agar muatan koper banyak adalah dengan cara menggulung pakaiannya satu per satu. Tak sadar perlahan air menggenangi mataku dan bersiap untuk tumpah. Sama seperti dulu ketika mengemas barang sebelum berangkat ke Amerika.
Koper penuh. Tak ada lagi ruang kosong meski sudah kucoba memadatkan. Alhasil, banyak baju sengaja ditinggal terutama berbahan tebal hasil eksplorasi berlebihan di Goodwill—sebuah toko yang menjual barang secondhand a.k.a monja dengan harga miring. Ada beberapa jaket musim gugur dan musim dingin kubiarkan menggantung di kamar. Meninggalkan sepatu Pocahontas dan winter boots menjadi kejadian paling mengiris hati. Mau bagaimana lagi, tak mungkin membeli koper keempat.
Menjelang hari kepulangan, Grandpa, Grandma dan Melanie—adik host mom, lebih sering mengunjungi kami. Masih jelas dalam ingatan bagaimana mata coklat Melanie selalu berkaca-kaca setiap melihatku. Tak sanggup dengan kepergian yang tak tahu kapan berjumpa lagi. Sejak dua minggu lalu aku menjadi saksi banyak perpisahan. Menjadi squad kepulangan paling akhir ternyata bercampur suka dan duka. Suka karena artinya waktu memihak untuk mengukir lebih banyak cerita sedikit lebih lama. Duka karena air mataku terkuras seiring potongan hati yang hilang.
I was way too done at goodbyes. Hari paling memilukan seumur hidupku itu akhirnya datang juga. Tak peduli seberapa pun keras aku mengusirnya. Keberangkatan terjadwal pukul 11.00 siang. Seisi rumah mengantarku lengkap bersama Grandma dan Grandpa Wilson dan tante kesayanganku, Melanie. Bukan, kali ini bukan berlibur bersama, tapi mengantar kepergianku.

Di awal sekali, baju batik kuhadiahkan pada keluarga dan meminta mereka untuk memakainya di hari kepulanganku ke Indonesia. Maka, hari itu bangga betul aku menyaksikan warisan budaya Indonesia yang telah masuk ke dalam salah satu world heritage dikenakan oleh mereka.
Mohab dan Aiman masih dalam perjalanan sementara aku sudah sampai di bandara Fort Wayne. Bandara itu kecil dan menampung pesawat-pesawat bermuatan sedikit pula. Aku gugup. Sedari tadi, tak banyak kata-kata keluar dari mulut seorang ekstrovert bersuara melengking yang sering mengganggu tetangga dan juga hobi berteriak ini. Grandpa menyiramiku berbagai petuah. Sejurus kemudian, kami bertiga sudah lengkap ditemani masing-masing keluarga angkat. Dalam dua jam, pesawat akan berangkat. Waktu paling mendebarkan siap membuatku sesak.

Jelas dalam ingatan lemahku ini bahwa beberapa bulan pertama tinggal, aku pernah didera homesick tak kepalang. Menyulut keinginanku pulang ke Indonesia saat itu juga karena aku tak kerasan. Keadaan itu berangsur-angsur membaik. Keinginan itu sirna bahkan sampai memberi kabar kepada keluarga di Indonesia dalam dua bulan pun enggan. Padahal di bulan pertama, tiap minggu atau kalau bisa tiap hari aku rela menelepon mereka meski harus mengganggu jam tidurku karena perbedaan waktu 11 jam. Hampir aku seperti Malin Kundang dikutuk jadi anak durhaka yang tak ingat orang tua. Memang, memulai sesuatu tak pernah mudah, Kawan. Tapi akhirnya kau akan terbiasa malah kau menikmatinya.
Amerika tak pernah mengenal budaya mencium tangan orang tua. Tapi kulakukan kebiasaan itu sesekali pada kedua orang tua angkat. Mereka terkejut. Saat itu, untuk terakhir kalinya aku mencium kedua tangan Mommy, Daddy, Grandma dan Grandpa. Pelukan tanda selamat tinggal kuberikan pada mereka termasuk Cheo, Rio, Mylia, dan Melanie. Nyaman sekali berada di tengah-tengah keluarga ini. Bahkan terasa lebih nyaman saat aku memeluk terakhir kalinya. Perlahan, air di mataku penuh dan bersiap untuk jatuh. Saat itu, kulihat Cheo, Rio, Mylia sudah berderai air mata. Sesenggukan. Rio mengelap mata dengan tangannya walaupun masih menangis terisak-isak. Hancur sekali hatiku. Bisa kalian bayangkan, Kawan, menyaksikan tangisan anak kecil adalah hal memilukan. Apalagi karena kau penyebabnya.

Segenap kenangan melintas dalam bayanganku—tawa, canda, sedih, bahagia, dan tangis, aku tak siap menjalani hari-hari penuh rindu rumah keduaku. Mataku merah dan bengkak. Kucoba tegar tapi tak bisa. Aku menangis tersedu bak kehilangan orang terkasih untuk selamanya. Dadaku sesak karena mencoba menahan tangis agar ketika melangkah pergi, orang-orang terkasih tak perlu melihat diriku penuh air mata. Mereka harus melihat senyuman itu di wajahku.
Aiman, Mohab dan aku akhirnya melangkah ke pintu masuk. Namun tiba-tiba…
Comments
Anakku salah satunya dipanggil Aiman. Seneng bangettt baca ceritanya.
Udah jauh kaki melangkah. Semoga banyak berkah dan manfaat ya
Saya juga tidak suka perpisahan, membuat menangis.
Kalau menangis, kepala jadi sakit hiks