Dulu, pertama kali aku bermimpi jadi exchange student, aku langsung memvisualisasikan diriku bak aktris di film-film Hollywood–tinggal di sebuah kota besar dikelilingi gedung-gedung tinggi, jalan utama kota dipenuhi orang berjalan kaki, transportasi umum yang canggih, wisata dalam kota yang mencengangkan. Tapi, Tuhan mengaburkan semua visualisasi mimpiku tentang hidup di kota besar di Amerika Serikat. Aku tinggal di sebuah kota kecil dengan penduduk yang hanya 10.000 orang. Di sekitarku tumbuh subur kacang kedelai. Rumah tetangga kami agak berjauhan. Tak ada transportasi umum seperti bus atau kereta yang lewat setiap beberapa menit.
Namun, hari itu, untuk pertama kalinya aku injakan kakiku ke ibu kota negara bagian tetangga, Chicago, Illinois. A big city that never sleeps. Kota yang dijadikan tempat syuting film Transformers Dark of The Moon ini begitu memukau dengan bangunan megah dan gedung-gedung pencakar langitnya. Kota ini dijuluki sebagai windy city, kota dengan hembusan angin kencang bersuhu dingin dari Lake Michigan.
Kala itu Desember, bertepatan dengan peringatan natal aku ikut trip kelas Bahasa Jerman ke Chicago. Kami mengunjungi Christkindlmarket, sebuah festival tahunan bergaya Jerman yang menjual makanan, minuman, dan souvenir. Festival ini diadakan outdoor di bawah suhu sekitar 10-15 derajat Celsius. Meski begitu, orang-orang tetap ramai dan rapi dalam antrian kasir. Saat itu juga aku langsung jatuh cinta dengan Chicago dan berharap bisa kembali ke kota itu lagi.
Bukan hanya sekali, aku kembali ke Chicago ketiga kalinya. Kupikir Tuhan selalu punya rencana privat, entah itu lebih baik atau sekadar mengabulkan sedikit saja harapan hambaNya. Kali kedua aku bepergian dengan The Horners, keluarga host dad, untuk sekalian mengunjungi adiknya yang tinggal di sana. Banyak wisata menarik dan canggih bisa dinikmati ketika berada di kota diverse ini.
Pertama, belum sah rasanya ke Chicago kalau belum melihat ikon kota The Bean di Millenium Park. The Bean atau Cloud Gate adalah sebuah sculpture berbentuk seperti biji kacang raksasa di downtown Chicago. Spot selfie dan wefie paling hits. Kalau diamati lebih dekat, kalian bisa lihat ada ribuan jejak tangan orang yang antusias memegang karya seni dari baja itu. Aku sendiri heran kenapa akhirnya aku juga ikut memegangnya.
Kedua, naik ke Skydeck Chicago. Lantai tertinggi di menara Willis Tower di lantai 103. Dari atas sana aku bisa melihat 4 negara bagian terhampar luas. Seperti berada di atas awan dan siap menaklukan dunia. Indah sekali gedung-gedung tinggi di pandanganku
Ketiga, Museum of Science and Industry. Sebuah museum yang menampilkan kehebatan sains dan teknologi. Butuh kurang lebih 5 jam untuk mengitari sekitar 2000 pameran mulai dari future energy, flight simulators, transportations gallery, science storms, and many more. Aku mencoba mirror maze dan hampir tersesat. Pameran favoritku adalah ruang simulasi tornado. Aku merasakan angin besar menghantam kencang dan begitu tinggi, untung tidak limbung aku dibuatnya.
Keempat, aku mengunjungi Chinatown, sebuah daerah berisi penduduk Cina atau sederhananya Little China in America. Mereka mendirikan restoran dan kedai-kedai yang menjual souvenir made in China. Kami berangkat dari downtown Chicago ke sana menggunakan kereta api bawah tanah atau subway. It was my very first time taking a subway and that was cool. Kereta melaju cepat. Aku sedikit oleng. Hal menarik terjadi ketika aku dan keluargaku makan siang di sebuah restoran. Betapa berbinarnya aku disuguhi makanan Asia. Aku memesan ceker ayam. Keluargaku heran dan bertanya,
“Memangnya kaki ayam bisa dimakan?”
“BISA! AND I LOOOVE IT!” ujarku.
“Orang Asia suka makan kaki ayam?”
“Well, not all of us. But some of us do like cook then eat them.”
Itulah kira-kira potret kebingungan orang Amerika tentang orang Asia yang makan kaki ayam, atau lebih baik diganti ceker ayam. Tapi akhirnya mereka mencoba ceker itu. Begitulah hebatnya keragaman. Dia mengajarkanmu perbedaan yang kau tak kau ketahui. Menempatkanmu di posisinya agar kau bisa memahaminya.
Namun, di tengah kemegahan dan ingar-bingar kota, aku melihat langsung apa yang dikatakan paradoks pembangunan. Aku pelajari itu di mata kuliah Ekonomi Politik, Keadaan dimana pemerintah gencar melakukan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat tapi di sisi lain ternyata kesenjangan ekonomi masih tinggi antara si kaya dan si miskin. Di emperan trotoar pusat kota Chicago, ketika aku sedang berjalan, aku terkejut bukan kepalang melihat banyak sekali homeless (tunawisma) dan para peminta-minta. Ada yang sambil tertidur, ada yang duduk sambil memegang papan bertuliskan “Homeless”.
Di hari itu aku paham, faktanya negara adidaya sekalipun masih bergelimangan rakyat jelata di jalan-jalan sambil meminta-minta.
Bagaimana pun juga, Chicago akan selalu menjadi memori indah dengan lampu-lampu penerang jalan malamnya. Dengan lampu-lampu gedung pencakar langitnya. Dengan ramainya pejalan kaki di tengah kota. Dengan hiruk-pikuk penduduknya. Dengan angan-angan untuk kembali ke sana.

Comments
Hiks, awak ke negeri Jiran aja belum nyampe.
Aku berani gak ya naik gedung spt itu.
Secara diriku phobia ketinggian