Malam itu begitu senyap. Lampu-lampu rumah sudah padam. Udara dingin bisa menusuk siapa saja yang masih berkeliaran di luar. Keluargaku terlelap dalam mimpi masing-masing. Tinggal aku seorang yang masih terjaga dalam lamunan. Kuambil iPad di sebelah kasur. Kuhidupkan lalu aku tertegun. Wallpaper berisi countdown hari kepulangan menunjukan 100 Days to my Departure Home.
100 hari lagi aku akan pulang ke Indonesia. Tujuan menjadikan tulisan itu di wallpaper adalah untuk mengingatkanku agar waktu yang tersisa bisa aku gunakan secara maksimal. Apapun yang kita baca secara berulang-ulang akan masuk ke pikiran bawah sadar kita. Pikiran bawah sadar inilah yang nantinya akan berubah menjadi sebuah perilaku. Oleh karena itu, penting bagiku untuk memprogram hal ini agar terus ingat sisa waktuku.
Hidup dimanjakan dengan kecanggihan teknologi, tertibnya orang-orang, kucuran kasih sayang dari keluarga tapi memberi kebebasan berpendapat menambah keinginanku untuk tetap tinggal. Semakin lama aku berada di Amerika, semakin aku merasa ada magnet kuat menarik diriku untuk tetap di sana.
Dimana lagi kutemukan daun oak dan maple saat musim gugur. Dimana lagi kutampung butiran-butiran salju saat musim dingin. Dimana lagi kunikmati kuncup bunga bermekaran serempak saat musim semi. Kalau musim panas, ah, tanpa deskripsi kalian pun paham bagaimana rasa dan rupanya, karena musim panas mampir sepanjang tahun di Indonesia meski ada musim penghujan.
Tak ada lagi pesta-pesta bersama orang Amerika—tenang saja aku tak menyentuh alkohol saat berpesta, pesta kami tidak liar. Tapi orang Amerika memang suka berpesta.
Tak ada lagi gereja mingguan yang kunanti kopi dan coklat panasnya. Gereja di Amerika memang royal. Mereka menyediakan minuman dan makanan ringan untuk para jemaat. Hope Missionary Church membuatku mencicipi berbagai pengalaman baru di sana. Mulai dari melihat pembabtisan, melakukan community service for kids in hunger, berkumpul di kelas youth service membicarakan kepercayaan—tidak, aku tak sempat murtad. Bekal agama sudah cukup kuat melekat walau sampai di negeri ini perlahan luntur amalannya.

Kejadian yang tak pernah terlupa juga adalah handphone-ku hilang di gereja. Setelah sampai rumah barulah tersadar. Saat itu aku pasrah. Beberapa jam kemudian Daddy menerima panggilan masuk dari rekan sesama pastor. Ternyata handphone-ku kini dia pegang. Tadi ada seseorang yang menemukannya di toilet. Teman Daddy mengenali wajahku yang kupasang sebagai wallpaper. Benar juga Allah bilang lewat Al-Ahzab: 59, “Ulurkanlah jilbabmu agar kamu mudah dikenal.” Berkat jilbabku, seisi gereja jadi mengenaliku. Begitu juga ketika aku berbelanja di Walmart. Beberapa pekerja tanda dengan wajahku. Lagi pula, di kota itu hanya aku yang berhijab.
Bagiku, meninggalkan Amerika seperti meninggalkan banyak potongan hati. Celakanya potongan hati itu nggak cuma di Amerika tapi dibawa oleh teman-temanku ke masing-masing negara mereka. Ah, sepertinya sepanjang kisah perjalanan di blog ini tak satupun aku bercerita tentang teman-temanku. Aku membagi tipe pertemanan anak-anak pertukaran pelajar Indonesia di luar negeri menjadi 3, yaitu: (1) lebih banyak berteman dengan orang Amerika atau teman-teman sekolahnya, (2) lebih banyak berteman dengan sesama siswa pertukaran pelajar, dan (3) seimbang pertemanan dengan orang-orang Amerika dan sesama siswa pertukaran pelajar. Semoga nanti ada kolom sendiri untuk membahas ini.

Aku termasuk tipe nomor 2 karena intensitas bermainku lebih banyak dengan teman-teman sesama pertukaran pelajar. Sama seperti alasan berdirinya sebuah perkumpulan—adanya persamaan rasa, persamaan visi, dan persamaan lainnya, maka di situlah kita merasa cocok dan diterima.

My local coordinator is such a caring person. Dia selalu berusaha untuk cari waktu supaya kita semua bisa hang out bareng agar kami lebih mengenal satu sama lain. Exchange students yang tergabung dalam program FLEX berasal dari Mesir, Jepang, Tunisia, Kazakhstan, Ukraina, Bahrain, Nigeria, dan Jerman. Inilah squad di bawah pengawasan koordinatorku. Di sekolah ada beberapa exchange students lainnya dari Swiss, Spanyol dan Brazil. Mereka dari program yang berbeda.

Tapi bukan berarti aku tak berteman dengan anak-anak di sekolahku. Aku tetap bergaul dengan mereka di acara teater atau paduan suara, atau hanya sekadar pergi nonton bioskop dan ngobrol tentang perbedaan budaya. Pergerakanku diawasi cukup ketat oleh keluarga angkat. Mereka merasa ada tanggung jawab besar mengasuh kami sehingga aku tak dibolehkan pergi tanpa diantar atau dijemput.

Dari Amerika, aku merasa banyak sekali yang hal yang harus ditata kembali di Indonesia—paling utama kualitas manusianya. Tapi mungkin perbandinganku tak apple to apple kalau membandingkan negara maju dengan negara yang (katanya) sedang berkembang. Entah kapan perkembangan ini mencapai puncak kemajuannya. Bahkan sesama negara berkembang tetangga saja masih jauh tertinggal.
Setahun membentuk hidup dan kebiasaan baru. Rasanya tak ingin jika harus kembali mengulang kehidupan 17 tahun lalu di Indonesia. Rasanya aku akan mengutuk banyak perilaku manusia-manusia negeriku. Tapi, mungkin saja aku akan berubah lagi seperti mereka?

Hitungan hari aku akan pulang ke rumah. Tapi, bukankah ini rumahku juga? Rumah bersama keluarga Amerika. Kali ini benar terasa bahwa makna rumah tidak hanya tentang bangunan tempatku berteduh. Tapi juga tentang orang-orang yang aku cintai dan mencintaiku dengan utuh.

Comments