Aiman, Mohab dan aku akhirnya melangkahkan kaki ke pintu masuk. Aku lambaikan tangan kepada orang-orang yang dulu asing namun sekarang berakhir menjadi orang-orang yang sangat kukenal. Petugas bandara tersenyum lembut. Memintaku menunjukkan tiket dan paspor, lalu melepaskan apapun selain baju, jeans dan hijab. Setelah itu aku masuk ke dalam tube tempat pemeriksaan.
Kami bergegas menuju waiting room. Sejujurnya aku tak mampu
menoleh ke belakang lagi. Menatap mereka
yang masih terpaku menunggu hingga bayangan kami hilang. For one last goodbye, aku tolehkan pandangan ke arah mereka sambil
menuntaskan lambaian tangan terakhirku. Kawan, tak pernah terbayangkan seumur
hidupku bahwa perpisahan akan semenyakitkan ini. Jika kalian pernah menonton
adegan film perpisahan di bandara terlihat amat dramatis, kini aku mengalaminya
sendiri.
Tak satupun dari kami berucap
sesampainya di ruang tunggu. Kami masih sibuk menata hati masing-masing.
Setelah sekian banyak potongan hati hilang, kini kuambil kamera digital dari
ransel. Kupandangi momen-momen yang aku abadikan lewat lensa itu. Bisakah
kalian bayangkan, Kawan? Lebih sulit mana antara meninggalkan kehidupan 17 tahun
untuk satu tahun lamanya dan kembali, dibandingkan meninggalkan hidup satu
tahun untuk selamanya dan mungkin tak pernah kembali?
Sejam lagi, pesawat kami berangkat.
Temanku mendekati layar jadwal. Tiba-tiba pemberitahuan delay dari petugas bandara terdengar. Kami dijadwalkan berangkat
pukul 13.00 waktu setempat ke bandara O’hare
International Airport di Chicago. Akhirnya, kami memutuskan membeli makan
siang. Setelah itu, pengumuman berikutnya muncul. Untuk kedua kalinya,
keberangkatan harus ditunda karena cuaca buruk sampai pukul 16.00. Rasa bosan
memuncak hingga kami bertingkah aneh membuat video dengan adegan aku mengesot
di lantai karena lelah menunggu lebih dari 5 jam. Banyak pasang mata tertuju
pada kami. Namun percayalah, Kawan, ketika kau berada di negeri orang, rasa
malu untuk melakukan tingkah aneh sirna seketika. Apalagi jika kau bersama
teman-teman.
Jantung kami berdebar saat ada
pengumuman lanjutan. Dengan berat hati, petugas memberi tahu bahwa penerbangan
hari ini harus cancel dan mohon untuk
melapor ke loket. Saat itu juga kami bersorak-sorai kegirangan. Tak pernah
terlintas dalam bayangan hal ini akan terjadi. Sudah bengkak dan berlinang air
mataku karena akan pergi selamanya, Allah malah batalkan dan memberi satu hari
lagi penuh kenangan.
Kami menelepon Rebekah untuk segera
mengurus keberangkatan. Kurasa semesta kala itu mendengar harapan kami untuk
tinggal sedikit lebih lama lagi. Akhirnya kami dijemput kembali oleh
masing-masing keluarga angkat di tempat es krim paling populer seantero Bluffton
sambil merayakan ketidakpulangan kami.
Tiba di rumah bersama daddy, aku seperti baru merantau dan
seolah kembali pulang ke rumah. Malam itu, kuhabiskan waktu untuk ngobrol dan
bermain dengan orang tua dan adik-adikku. Hari paling membahagiakan. Tapi kali
ini tanpa kesedihan. Sengaja aku tidur bersama adik-adikku dan anjing
peliharaan, Momo dan Lacy, di basement untuk
terakhir kalinya.
Esok hari adalah hari keberangkatan
sesungguhnya. Daddy, Grandma Grandpa dan anak-anak tak lagi mengantarku.
Kemarin sudah ikut untuk menyaksikan kepergianku yang tidak jadi. Hanya ada
Mommy. Kali ini tak kubiarkan air di mata ini tumpah agar yang lainnya tak ikut
menangis. Namun, tiba-tiba Rio, adikku, sudah berlinang air mata saat
memelukku. Cheo dan Mylia pun ikut menangis. Sudah kutahan, tapi tak bisa. Aku
bergegas masuk mobil. Roda melaju sambil kulambaikan tangan dengan jilbab yang
sudah basah. Sepanjang jalan, kami tak banyak berbicara. Lagi-lagi aku harus
menata hati yang hancur lagi.
Di bandara sudah menunggu teman-temanku
dan keluarganya. Sebelum berangkat, kami sempat makan bersama. Aku
mempersembahkan lagu Leaving On A Jet
Plane sambil sedikit terisak. Waktu sudah semakin dekat dengan panggilan
untuk masuk ke ruang tunggu. Ah, jangan lagi menangis kupikir. Ternyata benar,
lambaian benar-benar terakhir kulakukan tanpa air mata.
Meski nanar, hati ini sudah ikhlas.
Ikhlas bahwa yang bertemu pasti akan berpisah. Itu sudah hukum alam. Aku pun
sudah terbiasa dengan pertemuan dan perpisahan di waktu yang bersamaan selama
masa pertukaran. Kali ini, aku membawa dan meninggalkan kenangan dengan
senyuman.
Tak ada delay lagi hari ini. Tak ada cancel
lagi hari ini. Kami siap naik ke pesawat untuk meninggalkan dunia mimpi dan
kembali menghadapi kenyataan. Rute penerbangan hari ini dari Fort Wayne menuju
Atlanta lalu berangkat ke Washington DC. Penerbangan ini cukup melelahkan. Banyak
menunggunya. Banyak eksporasinya. Beruntungnya di bandara Atlanta ada beberapa spot indah berwarna warni. Lumayan untuk
cuci mata. Kami benar-benar mengelilingi bandara dengan menggeret-geret koper
dan tentengan segudang. We were born
strong.
Kami tiba di bandara Ronald Reagan Washington
sekitar pukul 9 malam. Diantar langsung ke lokasi orientasi. Malam itu malam
penutupan orientasi—agenda perayaan telah menyelesaikan program sekaligus
merayakan kesedihan kembali ke kampung halaman.
Pagi-pagi sekali kami harus
berangkat ke Dulles International Airport—bandara yang menjadi lokasi syuting
video klip lagu Jet Lag – Simple Plan.
Rute penerbangan kali ini mengikuti arah perputaran bumi, dari barat ke timur. Dari
Amerika bertolak ke Narita International Airport Jepang. Lalu tembak langsung
ke Jakarta.
Armada Jepang yang kami tumpangi
akhirnya mendarat di negeri tercinta. Tak kusangka, perjalanan setahun akan
terasa secepat liburan tiga hari saja. Kami sudah disambut ramai oleh kakak-kakak
panitia re-orientasi yang sumringah raut wajahnya seolah mereka ingin berkata, “Selamat
datang kembali ke dunia nyataaa! Setahun kemarin hanya mimpi sajaa!”
Ketika reorientasi kami “dipaksa”
menyesuaikan diri kembali dengan segala tantangan hidup di daerah
masing-masing. Hari terakhir orientasi, orang tua sudah harap-harap cemas
melihat apa-apa yang berubah dari anak mereka. Warna rambutnya, kah? Badannya
yang semakin gemuk, kah? Pipiya yang semakin chubby, kah? Atau apakah tingkah lakunya sudah mirip remaja
Amerika?
Satu hal yang pasti, kulihat ayahku
di ujung sana menunggu. Air sudah menggenangi kedua mata sayunya. Air mata
rindu dan bangga bercampur jadi satu. Tak ada yang lebih membahagiakan bagiku
kala itu selain melihat kebanggaan dalam diri ayahku. Kebanggaan melihat anak
gadis 17 tahunnya menjejakkan kaki di Amerika.
Akhirnya, aku pulang. Ternyata makna
pulang bukan lagi sekadar rumah tempat aku dilahirkan, tapi tempat dimana aku
berada dengan orang-orang yang kucinta.
Comments