Matahari masih
setengah puncak. Jam sepuluh pagi adalah waktu tepat untuk berjemur. Waktu
dimana sinar ultraviolet tak membuat kulit menghitam kata orang-orang. Tapi
panas hari Jumat itu tak seperti biasa. Ada seorang wanita tengah berjuang
bertaruh nyawa. Di tengah-tengah hawa panas nan membikin gerah, ibuku sedang
berusaha mengeluarkan janin yang sudah sembilan bulan ia kandung dalam perutnya
ke sana kemari. Kurang lebih sejam ibu bergulat dengan rasa sakit dan nyeri
menjelang kelahiran, lahirlah diriku.
Ibu
adalah wanita yang kuat. Sejak kelahiran anak pertama hingga melahirkan anak
ketiga, ibu tak pernah berteriak kesakitan. Ia hanya menggigit kain kuat-kuat sambil
meringis dalam diam. Ibu berkucur air mata saat tahu aku sehat tanpa cacat. Bagaimana
pun, sekelebat kekecewaan tak luput dari hati kecil ibu. Sedikit memang, dan
itu terbalut oleh rasa syukur karena melahirkanku dengan sempurna.
Itulah prinsip
seorang ibu. Tak peduli bagaimana rupamu, cinta kepada anak selalu tanpa syarat.
Mengandung di usia lebih dari 30 tahun cukup berisiko. Namun, bayi tampan yang
diidam-idamkan kedua orang tuaku mungkin takkan pernah lahir ke dunia.
Lain cerita
ibu, lain lagi cerita ayah. Kekecewaan tampak jelas dari gerak-geriknya saat
menemui gadis kecilnya di klinik persalinan. Hancur sudah mimpi ayah memiliki
anak laki-laki—mengajarinya menjadi gagah pemberani sampai hal-hal tentang
cinta pada seorang perempuan. Ayah sempat enggan menemuiku. Lalu ia bergegas.
Tak lama dari itu, ayah jatuh dari sepeda motornya. Entahlah, mungkin semesta
bekerja atas kesedihan ibu.
Aku semakin
tumbuh besar. Diceritakan kejadian itu ketika aku duduk di sekolah dasar.
Namun, sejak mendengarkan cerita itu aku jadi merasa setiap perlakuan ayah yang
membuatku bersedih adalah bentuk kekecewaannya padaku. Atau mungkin perasaanku saja yang berlebihan.
Mulai kelas
empat, aku sudah aktif berkegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Aku mulai disuguhi
berbagai perlombaan mulai dari menari, membaca puisi, hingga menulis cerita.
Beruntungnya predikat juara kukantongi dari beberapa perlombaan. Beranjak ke
masa putih biru, aku pun dipercaya maju untuk lomba yang berkaitan dengan
bahasa Inggris mulai dari pidato, storytelling,
dan lainnya. Semenjak itu—entah mungkin perasaanku saja, aku merasa perubahan
sikap ayah padaku menjadi lebih sabar. Mungkin ayah sedikit bangga, pikirku.
Naik tingkat
menjajaki masa putih abu-abu, pidato bahasa Inggris tetap jadi kompetisi
langgananku. Tapi kutemukan hobi baru. Musikalisasi puisi—mengulik puisi dengan
cara bernyanyi. Salah satu ekskul yang memberiku kesempatan tampil dari
panggung ke panggung. Melalang buana ke beberapa kota. Bahkan menaklukkan
Indonesia dengan slogan kami “Minimal Juara 1”. Kulihat ayah selalu senang tiap
kali mengdengar berita kemenanganku.
Sampai
akhirnya berkat mimpi yang sudah kutanam sedari dulu, aku menjejakkan kaki di
dataran yang saat itu dipimpin oleh Barrack Obama, Amerika. Tinggal dan
mencicipi keragaman setahun dan dibiayai penuh. Kurasa ini hal paling
membanggakan bagi ayah seumur hidupnya—melihat anak perempuannya yang dulu
sempat membuatnya kecewa karena jenis kelamin tak sesuai harapan. Kudengar ayah
selalu menangis tiap kali bercerita ke teman-temannya tentangku yang nun jauh
di sana.
Ayah makin
sadar bahwa tak punya anak laki-laki bukan berarti anak perempuan tak bisa
dibanggakan. Bahkan perempuan-perempuan zaman sekarang prestasinya bisa jauh
lebih membanggakan asal mendapat dukungan. Bukan malah dianggap rendah dan tak
berdaya melakukan hal-hal besar.
Comments