Semenjak pandemi, setiap kali orang menyebut kata positif, muaranya pasti satu, Covid-19. Hanya pada masa ini kata positif bermakna negatif. Positif yang seharusnya bermakna baik, kerap ditakuti karena kau akan dikira berpenyakit.
Aku sendiri tak menyangka akhirnya terserang virus ini. Ternyata benar, kau tak akan memercayai sesuatu sampai itu terjadi padamu. Bukan aku tidak percaya, tapi aku abai. Seharusnya, prokes terjaga dengan ketat: mencuci tangan, pakai masker, menjaga jarak. Jujur, poin ke-3 sering membuatku lalai. Saat bekerja, aku dan teman-teman sering lupa bahwa harus ada jarak diantara kami. Karena di masa pandemi kau harus selalu berasumsi bahwa sekitarmu terinfeksi. Bukan. Tujuannya bukan agar kau takut, tapi bagi beberapa orang ada keluarga yang harus dilindungi.
Sejak awal aku sudah menduga akan positif sambil berpura-pura hanya demam biasa. Ada orang tua yang harus kupastikan baik-baik saja. Tapi karena pekerjaan, aku memutuskan untuk menjalani tes dan siap dengan hasilnya.
"Kamu positif."
Bagiku, positif tidak pernah memberi energi se-negatif ini. Aku tidak peduli kondisiku, yang aku khawatirkan hanya ayahku yang asma, ibuku yang sudah menua, kakakku yang sedang mengandung bayinya, keponakanku yang masih belia. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah selamatkan mereka.
Saat hasil itu keluar, aku sudah dalam kondisi yang lebih baik. Tak ada demam dan pusing, hanya tersisa flu, batuk, dan sedikit tulang yang terasa ngilu. Sejujurnya aku tak terlalu takut lagi saat tau hasilnya. Karena tahun lalu saat pandemi marak di berbagai negara, aku bahkan berpikir sudah diserang gejala psikosomatis, kondisi ketika pikiran memengaruhi tubuh sehingga memicu munculnya keluhan fisik tanpa adanya penyakit. Tiap hari aku melihat media dan memeriksa lonjakan kasus di dunia. Akibatnya aku merasakan gejala psikosomatis itu. Paranoid tiap membaca berita yang makin keruh. Meski begitu, aku tetap khawatir pada orang tua. Tak ada yang tau skenario Tuhan akan seperti apa.
Sudah 10 hari aku terkurung di kamar. Lelah sudah pasti, bosan apalagi. Kerjaan tertunda. Mencoba produktif sesekali dengan menulis. Tapi bukannya menghasilkan malah stres karena kok ya nihil inspirasi. Tapi aku senang karena akhirnya bisa menenggelamkan diriku lagi pada musik--sesuatu yang selalu membuat diriku antusias meski kemampuan bermain alat musik terbatas--pada mahakarya musisi independen Indonesia seperti Baskara Putra, Iga Massardi, dan sederet musisi indie lainnya. Bermula dari menemukan satu lagu yang sangat menarik hasil #CollabonationCamp im3 Ooredoo saat berselancar di kanal YouTube. Tiba-tiba aku berhenti dan hasrat meng-klik lagu berjudul "Angin di Lautan" mencuat. Alamak. Lagu yang apik. Optimisme menyambut tahun 2021 tergambar jelas meski dibalut ketidakpastian. Lagu-lagu hasil dari camp "gila" ini memang dibuat di akhir tahun 2020 untuk menyambut tahun baru. Aku merasa jauh tertinggal, kenapa baru mengenal lagu ini sekarang. Namun, tak apa. Aku bisa katakan, lagu Angin di Lautan yang menemani masa karantina. Lagu ini seperti memberi energi yang meluap-luap lewat nada dan kata-kata. Energi yang seakan memberi kekuatan bahwa selalu ada cara untuk bertahan dan berjuang.
Ah, aku jadi emosional. Sampai lupa kalau sedang bercerita aku positif. Walau saat ini aku memang sedang membanjiri pikiranku dengan hal positif. Entah kenapa, karantina memberi waktu untukku berkontemplasi lagi. Meski sejatinya hidup penuh dengan hal yang harus dikontemplasikan secara berulang untuk tetap waras dan rendah hati. Ibarat bermain puzzle. Aku seperti menemukan satu keping puzzle yang cocok untuk disambung dengan puzzle sebelahnya. Sejujurnya, akupun tak tau pasti apakah benar ini jalannya. Entahlah. Satu hal yang pasti aku harus terus bergerak maju. Tak perlu terburu-buru asal jelas arah yang dituju. Aku yakin perlahan akan menemukan.
Aku ingat kata Baskara, "Jangan sampe lo nggak tau mau ngelakuin apa."
Bagiku, kata-kata ini tamparan keras yang menyakiti hati.
Astaga, aku sampai lupa padahal lagi bercerita tentang positif corona. Kalau tahun lalu aku mengumpat dan berharap tak pernah jadi salah satu korban, kini aku berterima kasih. Di samping positif corona, aku positif menemukan satu arah semasa karantina.
Comments